Sesungguhnya, Kerajaan Malaka ini tidak termasuk wilayah Indonesia, melainkan
Malaysia. Namun, karena kerajaaan ini memegang peranan penting dalam kehidupan
politik dan kebudayaan Islam di sekitar perairan Nusantara, maka Kerajaan
Malaka ini perlu dibahas dalam bab ini. Kerajaan Malaka (orang Malaysia
menyebutnya Melaka) terletak di jalur pelayaran dan perdagangan antara Asia
Barat dengan Asia Timur. Sebelum menjadi kerajaan yang merdeka, Malaka termasuk
wilayah Majapahit.
Pendiri Malaka adalah Pangeran Parameswara, berasal dari Sriwijaya (Palembang). Ketika di Sriwijaya terjadi perebutan kekuasaan pada abad ke-14 M, Parameswara melarikan diri ke Pulau Singapura.
Dari Singapura, ia menyingkir lagi ke Malaka karena mendapat serangan dari Majapahit. Di Malaka ia membangun pemukiman baru yang dibantu oleh orang-orang Palembang. Bahkan Parameswara bekerja sama dengan kaum bajak laut (perompak). Ia memaksa kapal-kapal dagang yang melewati Selat Malaka untuk singgah di pelabuhan Malaka guna mendapatkan surat jalan.
Untuk melindungi kekuasaannya dari raja-raja Siam di Thailand dan Majapahit dari Jawa, ia menjalin hubungan dengan Kaisar Ming dari Cina. Kaisar Ming inilah yang mengirimkan balatentara di bawah pimpinan Laksamana Cheng-Ho pada tahun 1409 dan 1414. Dengan demikian, Parameswara berhasil mengembangkan Malaka dengan cepat. Kemudian, Malaka pun mengambil alih peranan Sriwijaya dalam hal perdagangan di sekitar Selat Malaka. Selat Malaka pada waktu itu merupakan Jalur Sutera (Silk Road) perdagangan yang dilalui oleh para pedagang dari Arab, Persia, India, Cina, Filipina, dan Indonesia.
Parameswara mulai resmi memerintah Malaka pada tahun 1400. Menurut catatan Tome Pires, Parameswara memeluk Islam setelah menikah denan puteri raja Samudera Pasai pada usia 72 tahun. Setelah itu, Parameswara bergelar Muhammad Iskandar Syah. Namun, menurutSejarah Melayu, pengislaman Malaka berlangsung setelah Sri Maharaja, raja pengganti Parameswara, berkenalan dengan Sayid Abdul Azizdari Jedah, Arab. Setelah masuk Islam, Sri Maharaja bergelar Sultan Muhammad Syah. Sebagian sejarawan bahkan beranggapan bahwa ia merupakan raja Malaka yang pertama muslim. Pendapat lain menyatakan, Malaka diislamkan oleh Samudera Pasai. Sri Maharaja memerintah dari tahun 1414 hingga 1444. Ia lalu digantikan oleh Sri Parameswara Dewa Syah, dikenal juga dengan nama Ibrahim Abu Said. Parameswara Dewa Syah hanya memerintah satu tahun, hingga 1445. Yang kemudian menjadi raja adalah Sultan Muzaffar Syah atau Kasim. Pada masanya Malaka mencapai masa keemasannya. Ketika itu, wilayah Malaka melingkupi Pahang, Trengganu, Pattani (sekarang termasuk wilayah Thailand), serta Kampar dan Indragiri di Sumatera.
Sultan ini memerintah hingga tahun 1459. Ia digantikan oleh Sultan Mansur Syah, dikenal juga sebagai Abdullah. Mansur Syah memerintah Malaka sampai tahun 1477. Jabatan sultan diserahkan kepada Sultan Alauddin Riayat Syah yang memerintah hingga 1488. Masa kejayaan Malaka langsung sirna sejak pasukan Portugis menyerang Malaka pada tahun 1511. Portugis yang dipimpin langsung oleh Alfonso de Albuquerque, dengan mudah mengalahkan pertahanan Malaka. Portugis segera membangun benteng pertahanan. Salah satu benteng peninggalan Portugis yang masih tersisa hingga kini adalah Benteng Alfamosa. Seabad kemudian, Portugis hengkang dari Malaka karena serangan pasukan VOC dari Belanda. Orang Belanda pun tak lama berkuasa atas Malaka karena kemudian Inggris mengambil alih kekuasaan atas Malaka.
Pendiri Malaka adalah Pangeran Parameswara, berasal dari Sriwijaya (Palembang). Ketika di Sriwijaya terjadi perebutan kekuasaan pada abad ke-14 M, Parameswara melarikan diri ke Pulau Singapura.
Dari Singapura, ia menyingkir lagi ke Malaka karena mendapat serangan dari Majapahit. Di Malaka ia membangun pemukiman baru yang dibantu oleh orang-orang Palembang. Bahkan Parameswara bekerja sama dengan kaum bajak laut (perompak). Ia memaksa kapal-kapal dagang yang melewati Selat Malaka untuk singgah di pelabuhan Malaka guna mendapatkan surat jalan.
Untuk melindungi kekuasaannya dari raja-raja Siam di Thailand dan Majapahit dari Jawa, ia menjalin hubungan dengan Kaisar Ming dari Cina. Kaisar Ming inilah yang mengirimkan balatentara di bawah pimpinan Laksamana Cheng-Ho pada tahun 1409 dan 1414. Dengan demikian, Parameswara berhasil mengembangkan Malaka dengan cepat. Kemudian, Malaka pun mengambil alih peranan Sriwijaya dalam hal perdagangan di sekitar Selat Malaka. Selat Malaka pada waktu itu merupakan Jalur Sutera (Silk Road) perdagangan yang dilalui oleh para pedagang dari Arab, Persia, India, Cina, Filipina, dan Indonesia.
Parameswara mulai resmi memerintah Malaka pada tahun 1400. Menurut catatan Tome Pires, Parameswara memeluk Islam setelah menikah denan puteri raja Samudera Pasai pada usia 72 tahun. Setelah itu, Parameswara bergelar Muhammad Iskandar Syah. Namun, menurutSejarah Melayu, pengislaman Malaka berlangsung setelah Sri Maharaja, raja pengganti Parameswara, berkenalan dengan Sayid Abdul Azizdari Jedah, Arab. Setelah masuk Islam, Sri Maharaja bergelar Sultan Muhammad Syah. Sebagian sejarawan bahkan beranggapan bahwa ia merupakan raja Malaka yang pertama muslim. Pendapat lain menyatakan, Malaka diislamkan oleh Samudera Pasai. Sri Maharaja memerintah dari tahun 1414 hingga 1444. Ia lalu digantikan oleh Sri Parameswara Dewa Syah, dikenal juga dengan nama Ibrahim Abu Said. Parameswara Dewa Syah hanya memerintah satu tahun, hingga 1445. Yang kemudian menjadi raja adalah Sultan Muzaffar Syah atau Kasim. Pada masanya Malaka mencapai masa keemasannya. Ketika itu, wilayah Malaka melingkupi Pahang, Trengganu, Pattani (sekarang termasuk wilayah Thailand), serta Kampar dan Indragiri di Sumatera.
Sultan ini memerintah hingga tahun 1459. Ia digantikan oleh Sultan Mansur Syah, dikenal juga sebagai Abdullah. Mansur Syah memerintah Malaka sampai tahun 1477. Jabatan sultan diserahkan kepada Sultan Alauddin Riayat Syah yang memerintah hingga 1488. Masa kejayaan Malaka langsung sirna sejak pasukan Portugis menyerang Malaka pada tahun 1511. Portugis yang dipimpin langsung oleh Alfonso de Albuquerque, dengan mudah mengalahkan pertahanan Malaka. Portugis segera membangun benteng pertahanan. Salah satu benteng peninggalan Portugis yang masih tersisa hingga kini adalah Benteng Alfamosa. Seabad kemudian, Portugis hengkang dari Malaka karena serangan pasukan VOC dari Belanda. Orang Belanda pun tak lama berkuasa atas Malaka karena kemudian Inggris mengambil alih kekuasaan atas Malaka.
- Masjid Agung Deli
Sultan Ma’mun Al Rasyid Perkasa Alam sebagai
pemimpin Kesultanan Deli memulai pembangunan Masjid Raya Al
Mashun pada tanggal 21 Agustus 1906 (1
Rajab 1324 H). Keseluruhan pembangunan rampung pada tanggal 10 September 1909
(25 Sya‘ban 1329 H) sekaligus digunakan yang ditandai dengan pelaksanaan sholat
Jum’at pertama di masjid ini. Keseluruhan pembangunannya menghabiskan dana
sebesar satu juta Gulden. Sultan memang sengaja membangun masjid kerajaan ini
dengan megah, karena menurut prinsipnya hal itu lebih utama ketimbang kemegahan
istananya sendiri, Istana Maimun. Pendanaan
pembangunan masjid ini ditanggung sendiri oleh Sultan, namun konon Tjong A Fie,
tokoh kota Medan dari etnis Tionghoa yang sezaman dengan Sultan Ma’mun Al
Rasyid turut berkontribusi mendanai pembangunan masjid ini.
Topi Kebesaran Datuk Somok (Ninik Mamak) yang telah berusia 200tahun. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar